Kejahatan Seorang Earl (2)
Kulihat anak yang sedang bermain akustik di tengah alun-alun kota itu, dia tampak kewalahan dengan alat musik itu.
Sampai akhirnya ia menyerah dan terduduk di jalan. Ku berikan 1 koin perak dan matanya pun seketika berbinar menatapku, “Apa kamu punya waktu sebentar?” kataku sambil menunjukan 1 koin perak lainnya.
Karena dia mau, ku ajak saja ke restoran biasa. Tampaknya juga ia kelaparan, “Maaf tuan makanku berantakan, jadi apa yang ingin tuan tanyakan?” tanya nya sambil mengunyah makanan.
Ku perhatikan alat musik yang ia bawa tadi, “Alat musik itu sebenarnya bukan punyamu, kan?” benar saja dia langsung tersedak. “Sebagai alat untuk mencari uang, sepertinya kamu tidak terlalu terbiasa memainkannya.” Dia terkejut lagi, apa pertanyaan ku menakutinya?
Dengan tangan yang masih memegang makanan, dia bertanya. “Jangan-jangan tuan polisi, ya?”
Karena medengar perkataan nya membuatku tertawa pelan, “Tidak, mana mungkin polisi sampai repot-repot melakukan ini.”
“Benar juga,” dia melanjutkan makan nya tanpa peduli pandangan orang lain yang mengarah ke arah kami. “Mereka pasti akan langsung membawaku ke kantor, untuk ditanyai.” Mendengarnya saja aku tersenyum.
Dia menatap alat musik tadi. “Tadinya ini punya Cass,” sontak aku terkejut. “Anda pasti tahu, 'kan? Karena kasus yang sebenarnya terjadi, Cass jadi berakhir seperti itu.” Ujarnya yang mulai bercerita,
“Karena saudaranya aku mengambil alih pekerjaannya, deh.”
“Karena tempatnya sepi. Sekarang aku pindah ke tempat lain sih,” jelasnya secara rinci. Setelah mendengar itu aku pun mulai penasaran dimana itu terjadi.
“Kalau begitu, biasanya Cass ada dimana?” tanya ku.
“Oh, biasanya dia ada di 2 blok dari tempat ku tadi.” Setelah mendengar penjelasan darinya, aku meninggalkannya disana dan pergi ke tempat Cass biasanya berdiri.
Tidak ada apa-apa di menara kayu, hanya ada Bunga Tulip putih. Ketika aku melihat kebelakang, Kereta kuda.
Apa dari kereta kuda? Tidak. Jika dia ingin mencari mangsa, dia akan memperhatikannya baik-baik. Aku mulai berfikir, dimana ia melihatnya. Sampai aku berputar dan menyadari sesuatu, sebuah gedung.
“Berarti pelakunya melihat dari jendela itu?” tanyanya seusai memberi ku secangkir teh.
“Kemungkinan besar begitu.”
“Berarti setiap hari dia melihat anak itu meminta-minta di jalan dari dalam sana, ya?” “Siapa yang tinggal di sana?” Tanyanya spontan.
“Tidak, itu bukan kediaman pribadi. Itu adalah tempat anggota Klub Gastros berkumpul.” Jelasku seraya manaruh cangkir, dan tiba-tiba saja seseorang datang.
“Klub Gastros? Para kritikus makanan kaya raya biasa berkumpul disana.” Kami berdua menoleh, dan ternyata itu Kak Albert.
“Ah, Kak Albert tahu soal tempat itu, ya?” tanyaku padanya. Dengan santai dia berjalan dan mengatakan, “Ku dengar hal buruk tentang Klub itu, tapi beberapa kenalanku yang menjadi anggota disana.”
Tentu saja aku senang mendengarnya, “Kita bisa memanfaatkannya, untuk masuk ke dalam Klub. Kita perlu mendapat rekomendasi dari anggotanya.”
“Kak William, berarti...” ucapnya menggantung.
Aku mengerti maksudnya, “Iya. dengan petunjuk sebanyak ini kita tidak bisa mengabaikannya,” mendengar ucapan ku dia hanya menatapku.
Tiba-tiba saja Kak Albert mengatakan sesuatu, “Kalau begitu, mungkin kita bisa memberikan Eden kesempatan untuk balas dendam.”